Pemikiran Teologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yaitu suatu golongan yang telah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan mengikuti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam persoalan aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, etika dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin. Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa mereka berpegang teguh pada Al-Qur-an dan. Dan Ahlus Sunnah disebut Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka. Maka Ahlus Sunnah tidak termasuk dalam semua golongan andal bid'ah dan orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya, seperti  Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Syiah dan lain-lainnya.

Dengan demikian, Sunnah yaitu lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan). Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yaitu kasus yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah SAW empat belas kurun yang lalu.

Pemikiran wacana hal dosa
Pemikiran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengenai dosa yaitu orang yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan dosa yang hingga ia mati belum bertaubat, maka orang ini dieksekusi sama dengan orang mu’min yang mengerjakan maksiat. Orang ini apabila ia tidak diampuni Allah maka ia akan masuk neraka, tetapi tidak abadi. Ia akan lepas dari siksa neraka sehabis selesai menjalani sanksi neraka, tetapi ia juga akan mencicipi nikmat lantaran imannya. Menurut ahlussunnah bahwa apa yang diperintahkan Tuhan itu baik dan apa yang dilarangnya itu buruk. Menurut mereka tidak ada kebaikan dan tidak pula ada kejahatan yang mutlak, lantaran itu hak prerogratif-Nya.

Tentang Sifat – sifat Allah SWT
Pemikiran mengenai sifat-sifat Allah SWT berdasarkan Ahlus Sunnah yaitu bahwa Allah itu satu, unik, qadim dan wujud. Dia bukan substansi, bukan tubuh, bukan oksigen, tidak terbatasi oleh arah dan oleh ruang. Dia mempunyai sifat-sifat ibarat mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan lain-lain. Prinsip-prinsip bahwa Tuhan itu unik dan intinya berbeda dari sifat-sifat makhluk dan perbedaan tersebut mutlak. Berdasarkan kepercayaan ini, bila suatu sifat diaplikasikan kepada Tuhan, maka sifat tersebut harus dipahami secara unik dan jangan dipahami ibarat kita memahaminya terhadap makhluk. Karena kepercayaan inilah, Asy’ariah berpendirian bahwa kita tidak boleh menyebutkan sifat Tuhan selain daripada yang termaktub secara terang di dalam Al-Qur’an. Sifat-sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk, bukan dalam tingkatan tetapi dalam jenisnya yakni dalam segenap hakikatnya.

Al-Baqillani beropini bahwa apa yang disebut sifat Allah bukanlah sifat dalam arti tekstual, tetapi mengandung makna hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim. Sedangkan berdasarkan Abu Huzail menjelaskan bahwa sifat yang dimaksud yaitu zat atau esensi Tuhan. Menurutnya arti “Tuhan Mengetahui” ialah Tuhan mengetahui dengan mediator pengetahuan, dan pengetahuan itu yaitu Tuhan sendiri. Selain itu, Harun Nasution mengemukakan bahwa sifat-sifat Tuhan, kata Al-ghazali, berbeda dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariyah menyampaikan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Sedangkan Hamka sebagaimana dikutip oleh Yunan Yusuf dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan mencoba menghindari perdebatan wacana apakah sifat Tuhan itu ada dalam dzat atau berbeda di luar dzat Tuhan itu sendiri. Karena berdasarkan Hamka, membahas sifat dan dzat insan saja sangat sulit apalagi membahas sifat dan dzat Tuhan. Oleh lantaran itu, ia lebih menitikberatkan kajiannya kepada manfaat mudah apa yang bisa ditarik dari pembicaraan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Manfaat apa yang sanggup diambil dari pendiskusian wacana Tuhan dan sifat-sifat-Nya semata-mata untuk mempertinggi kualitas dogma seseorang, dan pada gilirannya akan mempertinggi pula kualitas dan kuantitas amal sholehnya.

Tentang Keadilan Allah SWT
Mengenai konsep keadilan Allah SWT. Zainuddin mengemukakan pendapat Asy’ariyah bahwa Allah SWT pencipta segala perbuatan hamba-Nya. Dia berkehendak atas terjadinya segala perbuatan makhluk-Nya baik maupun buruk. Apabila seorang hamba bermaksud akan berbuat sesuatu, maka Allah memilih apa yang dikerjakan oleh hamba tersebut, oleh lantaran perbuatannya itu maka seorang hamba mempunyai kasab. Menurut Asy’ariyah, kasab itu ialah bersamaannya kemampuan dengan perbuatan. Makara hamba hanya punya kasab, sedangkan perbuatannya sendiri diciptakan Allah SWT.

Allah membuat kemampuan dan kemauan yang keduanya berperan dalam berlangsungnya perbuatan, sehingga perbuatannya itu makhluk Allah. Makara makhluk Allah itu ada yang tercipta tanpa mediator ibarat batu, pohon-pohon dan sebagainya. Ada yang menggunakan perantara  yaitu segala makhluk yang dihasilkan kerja manusia. Karena insan merupakan mediator maka ia bertanggung jawab dan menerima akhir baik atau buruk. Dengan demikian, maka Allah itu bersifat adil, yaitu memberi pahala kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang diusahakannya.

Tentang Janji dan Ancaman
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan oleh Zainuddin, barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir atau melaksanakan dosa besar maka orang itu akan kekal dalam neraka, dan barangsiapa yang mati dalam keadaan beriman, ia niscaya masuk nirwana untuk selama-lamanya. Kaum mu’tazilah tidak menyebut adanya kemungkinan pengampunan Allah dan syafaat di hari kiamat. Asy’ariyah tidak sepaham dengan mu’tazilah. Menurut Ahlus Sunah Asy’ariyah, tidak ada yang kekal dalam neraka, kecuali orang yang mati dalam keadaan kufur. Dan Allah berkuasa untuk mengampuni orang yang dikehendaki-Nya. Pengampunan itu masih ditambah dengan adanya syafa’at daripada Nabi dan para Rasul serta para sholihin di hari kiamat.

Lebih lanjut lagi, Zainuddin mengemukakan bahwa dasar pedoman Asy’ariyah ialah bahwa Allah SWT itu pemilik mutlak atas semua makhluk-Nya. Dia berbuat apa saja yang ia kehendaki dan menghakimi segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya. Andaikata Allah memasukkan makhluk-Nya ke dalam surga, hal itu bukanlah suatu ketidakadilan. Sebaliknya kalau Allah memasukkan semua makhluk-Nya ke dalam neraka, hal itu bukanlah suatu kedzaliman, lantaran yang dinamakan dzalim itu ialah memperlakukan sesuatu yang bukan miliknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan Allah yaitu pemilik mutlak atas segala sesuatu, sehingga tidak bisa digambarkan timbulnya kedzaliman daripada-Nya. Sebaliknya soal al-wa’d wa al-wa’id, al-maturidi sepaham dengan mu’tazilah. Menurutnya, janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.

Tentang Melihat Dzat Allah di Akhirat
M.M. Sharif menyebutkan bahwa dalam hal melihat dzat Tuhan di alam abadi ,Asy’ariyah berbeda dari paham Mu’tazilah dan para filosof dan sejalan dengan paham umat muslim ortodoks, yang menyatakan bahwa Allah itu sanggup dilihat, tapi mereka tidak setuju mengenai apakah Tuhan sanggup ditunjukkan. Mereka mendapatkan prinsip filsafat bahwa apa saja yang menempati ruang atau arah mestilah temporal, padahal Allah tidak temporal. Pengakuan ini mengakibatkan mereka dihantui kerumitan, lantaran bila Tuhan tidak “meruang atau mewaktu” dan sesuatu yang sanggup dilihat, maka Tuhan tidak sanggup dilihat, namun konklusi ini bertentangan dengan paham mereka bahwa Tuhan sanggup dilihat. Makara untuk mengatasi kesulitan ini, mereka menyatakan bahwa suatu benda biarpun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya, mungkin saja untuk dilihat. Ini alasan yang lemah dan ganjil sekali, lantaran sangat bertentangan dengan segenap prinsip optika.

Disamping itu, Ahlus Sunah Maturidiah juga sependapat dengan kaum ortodoks, dan ia menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai hal ini harus dipahami secara harfiah. Dengan teladan pikir skolastik ia mengemukakan bahwa kata dan makna ayat dan hadits yang mengambarkan wacana hal ini, menunjukkan bahwa kita jangan memahaminya secara alegoris dan menafsirkan bahwa melihat Tuhan artinya “melihat gejala dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati”. Dengan demikian, Maturidi menegaskan bahwa melihat Tuhan di nirwana merupakan kenikmatan spiritual dan intelektual yang paling tinggi dan merupakan pahala termulia dari iman. Ini merupakan dasar aqidah yang dilandasi Al-qur’an dan sunnah serta ditopang oleh akal.

Tentang perbuatan Manusia
Menurut Zainuddin, kaum Ahlus Sunah Asy’ariyah menyampaikan bahwa insan mempunyai kemampuan yang besar lengan berkuasa atas segala perbuatannya dengan izin Allah SWT. Manusia juga mempunyai pilihan ikhtiar, tapi insan dipaksa atas pilihannya. Kemampuan insan tidak besar lengan berkuasa secara orisinil atas amal perbuatannya, hanya ibarat tangan yang lumpuh. Karena itu, maka insan tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak digariskan oleh izin dan kekuasaan Allah SWT. Dengan demikian, kaum asy'ariyah tidak mengakui adanya ikhtiar pada manusia, sesuai dengan firman Allah bahwa :"dia membuat apa saja yang dikehendaki termasuk yang diciptakannya dengan mediator perbuatan mereka".

Sedangkan Hamka beropini bahwa insan mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Pilihan untuk menjadi kafir atau menjadi mukmin yaitu berdasarkan pilihan bebas insan itu sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Kebebasan berkehendak dan berbuat tersebut dimungkinkan dimiliki oleh manusia, lantaran kepada insan diberikan potensi akal. Dengan nalar inilah insan menimbang mana yangbaik dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan kemudaratan dan mana yang mendatangkan kemanfaatan.

KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam pedoman islam yaitu kaum Asy’ariah dan kau Maturidi. Selain itu, golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah yaitu golongan yang mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah Rasulullah SAW, para sahabtnya dan para tabi'in.

Secara ringkas, Ahlussunnah Wal Jama’ah mempunyai paham mengenai kepercayaan hati, dibuktikan dalam bentuk perkataan dan amaliahnya. Perbuatan dosa besar dan hingga matinya belum bertaubat, maka diklaim sebagai mukmin yang melalukan maksiat. Hukumannya akan masuk neraka, tetapi mempunyai impian besar masuk surga, walaupun sudah berabad-abad lamanya. Semua perbuatan Allah mengadakan / meniadakan sesuatu itu kita tidak mengetahuinya, dan yang mengetahui hanyalah Allah sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
- Nasution, Harun.(2002). Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
- Sharif, M.M.(2004). Aliran-Aliran Filsafat Islam. Nuansa Cendikia, Bandung.
- Zainuddin.(1992). Ilmu Tauhid Lengkap. Rineka Cipta, Jakarta.

Comments

Popular posts from this blog

Pewarnaan Objek Geometri Di Java 2D

Tugas Komplemen Terakhir

Konsep Oop Encapsulation